Monday 5 November 2012

Pulang, Pulang, Pulang

Pulang, Pulang, Pulang

6fc91ee8d8a5cf46711257cd36f5c0c4_alamMenyusul perkelahian massal di Bangli bulan Juli 2011 yang menelan nyawa manusia, seorang sahabat bertanya, bagaimana mungkin di tempat sejuk seperti Bangli bisa terjadi peristiwa panas? Seorang murid yang penuh bakti lain lagi, ia mengirim pesan: “Guru, lebih sering pulang, Bali memerlukan lebih banyak kesejukan”.
Mulih
Meminjam cara pandang tetua Bali, tiap kali perisitiwa ekstrim terjadi tetua selalu menoleh ke Pura. Dan sulit untuk tidak menoleh ke Pura Kehen tatkala Bangli dinodai darah manusia lagi. Terutama karena masih terang dalam ingatan di mana seorang wartawan dihabisi nyawanya juga di Bangli. Kebanyakan warga Bangli khususnya dan sebagian krama Bali umumnya tahu, di Pura Kehen yang berumur amat tua ini tetua menyimpan prasasti tua yang mengingatkan orang Bali untuk pulang.
Pengertian pulang memang amat beragam. Tapi sebagian pencari yang sudah menghirup sejuknya puncak gunung spiritualitas tahu, pulang serupa dengan masa kanak-kanak dulu. Di mana sehabis jam sekolah kita berlari ke rumah, ke sebuah tempat di mana semuanya disambut dengan senyuman dan pelukan. Dan bukan kebetulan yang tidak bermakna apa-apa, bila tidak jauh dari Pura Kehen, masih dalam kawasan kabupaten Bangli, di tempat di mana danau (yoni) memeluk gunung (linggam), tetua mendirikan Pura Jati alias rumah sejati. Di sana tidak saja hawanya sejuk, pemandangannya indah, tapi juga penuh vibrasi kesejatian. Di tataran kesejatian, dualitas (benar-salah, baik-buruk, suci-kotor) tidak ada sebagai bahan-bahan perkelahian. Melainkan menjadi kekuatan yang saling menerangi. Ia serupa malam yang membukakan pintu bagi datangnya siang. Mirip kegagalan yang membuat kesuksesan menjadi lebih kaya rasa. Demikian juga dengan kejahatan, ia memberikan pembanding tentang indahnya kebajikan.
Digabung menjadi satu, pesannya terang benderang, kekerasan bukan rumah alami orang Bali. Bali dikagumi dunia bukan karena peritiwa kekerasan di tahun 1965, tapi karena kedamaiannya yang menawan. Boleh tanya ke wisatawan manca negara yang kerap datang, apa lagi yang dicari di Bali kalau bukan kedamaian. Tatkala bom teroris  pertama kali meledak di Bali, lagi-lagi dunia menatap kagum ke pulau Bali, bukan karena batu yang dilemparkan ke tempat ibadah orang lain, melainkan karena keluasan pandangan, kedalaman  sikap  orang Bali  yang berujung pada satu hal: “semuanya dipeluk lembut dengan senyuman”. Yang lebih menyentuh hati lagi, orang yang diberi berkah berlimpah oleh pulau Bali setelah bom meledak adalah nyama selam (saudara kandung kita yang beragama Islam) Bapak Haji Bambang. Bila boleh jujur, inilah Parama Shanti yang menjadi puncak persembahyangan  orang  Bali. Di mana  tidak  ada ruang bagi kekerasan, semuanya dipeluk lembut dengan senyuman. Tetua Bali menyebutnya Embang (hening). Ada puranya yang berlokasi sekitar danau Tamblingan.
Semua ini  berpesan terang sekali, pulang ke rumah sejati. Di rumah sejati, berlaku rumus sahabat dari Manado: “torang basodara“. Kita semua bersaudara dalam kasih sayang, satu orang tua dalam belas kasih, satu atap rumah yang sama karena sama-sama mau bahagia sama-sama tidak mau menderita. Atau berlaku rumus tetua di Jawa: mangan ora mangan ngumpul. Persahabatan, kekerabatan, kasih sayang lebih tinggi nilainya dibandingkan dengan nafsu rendah yang hanya mengutamakan perut kenyang.
Dalam buku suci Tantra ditulis terang sekali, kita pernah terlahir dalam jumlah yang tidak terhitung. 0leh karena itu, ada tidak terhitung jumlah makhluk di alam ini yang pernah menjadi ibu, bapak, Guru, saudara kandung, dokter atau perawat yang pernah menolong dan menyembuhkan kita. Bila ini acuannya, kegiatan saling menyakiti tidak saja tidak memungkinkan manusia membayar hutang-hutang karmanya yang berlimpah, malah menambahnya dengan hutang-hutang karma baru yang lebih menakutkan.
Seorang Guru di India sekitar dua ribu  enam ratus tahun lalu ditanya, seberapa banyak manusia yang setelah meninggal perjalanannya naik dan turun? Dengan mengejutkan Guru yang mata spiritualnya sudah terbuka sempurna ini menjawab: “yang bergerak naik sebanyak pasir dalam genggaman, yang bergerak turun sebanyak pasir di sepanjang sungai Gangga”. Bayangkan, itu dua ribu enam ratus tahun yang lalu. Di sebuah waktu di mana belum terdengar adanya alat-alat penghancur dengan daya musnah sedahsyat saat ini. Sekarang, di mana yang disebut berita adalah permusuhan, yang   dibaca  dan  ditonton  orang   adalah  perkelahian, yang didengar orang kebanyakan adalah kebencian, tanpa bekal-bekal spiritualitas mendalam, sulit untuk tidak mengatakan bila di zaman ini yang jatuh turun ke alam binatang, setan bahkan neraka setelah meninggal malah lebih banyak lagi.
Membuka tirai seperti ini, tentu bukan untuk menakut-nakuti orang, tapi untuk membunyikan Genta yang sudah dikumandangkan lagi dan lagi: “pulang, pulang, pulang”. Seperti anak-anak yang bermain, kemarahan, kekerasan, permusuhan menunjukkan bahwa anak-anak spiritual sudah bermain terlalu jauh dari rumah. Kecelakaan, kesialan, kematian adalah tangan keras Guru yang mencubit dengan penuh kasih sayang. Dengan niat tidak lain dan tidak bukan agar para murid tidak jatuh turun setelah waktu kematian. Syukur-syukur bisa mendekati Guru, belajar spiritualitas mendalam, kemudian ikut membantu Guru meringankan beban penderitaan banyak sekali makhluk yang memerlukan pertolongan.
Kebanyakan sahabat yang terlahir di desa tua Bali tahu, persahabatan, persaudaraan, pertemanan itulah menu spiritual keseharian orang Bali. Di desa Tajun Bali Utara sebagai contoh, dulunya tidak ada buruh tani. Melalui tradisi tua yang sudah nyaris punah bernama nguwun, semua pekerjaan ladang dikerjakan bersama-sama sebagai bukti betapa kentalnya menu-menu persahabatan, persaudaraan, pertemanan dalam darah spiritual orang Bali.
Tidak semua orang Bali menyukai pendekatan pulang seperti ini. Sebagian malah menuduh  undangan untuk pulang ini sebagai bahan-bahan kemunduran. Dan tentu saja ini layak dihormati. Namun, di putaran waktu tatkala kekerasan sudah demikian memanasnya bahkan di tempat sejuk sekalipun sekaligus memakan nyawa manusia, kita memerlukan kelembutan-kelembutan. Sebagaimana tubuh fisik yang nyaman pulang, tubuh spiritual juga memiliki kerinduan untuk pulang. Bila kekerasan bermusuhan bahkan dengan sesama kekerasan, kelembutan tidak bermusuhan dengan siapa-siapa. Puncak kelembutan ketemu tatkala seseorang bisa melihat, memperlakukan semua sempurna pada tempatnya. Sesempurna rumput yang berwarna hijau, laut yang berwarna biru.
Sehabis ini, terpulang ke orang Bali, mau pulang ke rumah sejati, atau terasing (merasa aneh) di tengah arus zaman sehingga bernasib seperti ikan di udara, serupa burung di kedalaman lautan.

sumber : http://gedeprama.blogdetik.com/2012/11/01/pulang-pulang-pulang/

Friday 2 November 2012

Kisah nyata yag menginspirasi





Selasa malam itu, setelah hujan lebat mengguyur Jakarta, gerimis masih turun. Saya pacu motor dengan cepat dari kantor disekitar Blok-M menuju rumah di Cimanggis-Depok. Kerja penuh seharian membuat saya amat lelah hingga di sekitar daerah Cijantung mata saya sudah benar-benar tidak bisa dibuka lagi. Saya kehilangan konsentrasi dan membuat saya menghentikan motor dan melepas kepenatan di sebuah shelter bis di seberang Mal Cijantung. Saya lihat jam sudah menunjukan pukul 10.25 malam.

Keadaan jalan sudah lumayan sepi. Saya telpon isteri saya kalau saya mungkin agak terlambat dan saya katakan alasan saya berhenti sejenak.



Setelah saya selesai menelpon baru saya menyadari kalau disebelah saya ada seorang ibu muda memeluk seorang anak lelaki kecil berusia sekitar 2 tahun. Tampak jelas sekali mereka kedinginan. Saya terus memperhatikannya dan tanpa terasa airmata saya berlinang dan teringat anak saya (Naufal) yang baru berusia 14 bulan. Pikiran saya terbawa dan berandai-andai, “Bagaimana jadinya jika yang berada disitu adalah isteri dan anak saya?”

Tanpa berlama-lama saya dekati mereka dan saya berusaha menyapanya. ” Ibu,ibu,kalau mau ibu boleh ambil jaket saya, mungkin sedikit kotor tapi masih kering. Paling tidak anak ibu tidak kedinginan” Saya segera membuka raincoat dan jaket saya, dan langsung saya berikan jaket saya.

Tanpa bicara, ibu tersebut tidak menolak dan langsung meraih jaket saya. Pada saat itu saya baru sadar bahwa anak lelakinya benar-benar kedinginan dan giginya bergemeletuk.

“Tunggu sebentar disini bu!” pinta saya. Saya lari ke tukang jamu yang tidak jauh dari shelter itu dan saya meminta air putih hangat padanya. Dan alhamdulillah, saya justeru mendapatkan teh manis hangat dari tukang jamu tersebut dan segera saya kembali memberikannya kepada ibu tersebut. “Ini bu,.. kasih ke anak ibu!” selanjutnya mereka meminumnya berdua.

Saya tunggu sejenak sampai mereka selesai. Saya hanya diam memandangi lalu lalang kendaraan yang lewat “Bapak, terima kasih banyak, mau menolong saya” sesaat kemudian ibu tersebut membuka percakapan. Ah, tidak apa-apa, ngomong-ngomong ibu pulang kemana? Tanya saya Saya tinggal di daerah Bintaro tapi…(dia menghentikan bicaranya), Bapak pulang bekerja ? dia balas bertanya.

“Ya” jawab saya singkat.

“Kenapa sampai larut malam pak, memangnya anak isteri bapak tidak menunggu? Tanyanya lagi. Saya diam sejenak karena agak terkejut dengan pertanyaannya.

“Terus terang bu, sebenarnya selama ini saya merasa bersalah karena terlalu sering meninggalkan mereka berdua. Tapi mau bilang apa, masa depan mereka adalah bagian dari tanggung jawab saya. Saya hanya berharap semoga Allah terus menjaga mereka ketika saya pergi.” Mendengar jawaban saya si ibu terisak, saya jadi serba salah. “Bu, maafkan saya kalau saya salah omong.

Pak kalau boleh saya minta uang seratus ribu, kalau bapak berkenan? Pintanya dengan sedih dan sopan. Airmatanya berlinang sambil mengencangkan pelukan ke anak lelakinya.

Karena perasaan bersalah, saya segera keluarkan uang limapuluh-ribuan 2 lembar dan saya berikan padanya. Dia berusaha meraih dan ingin mencium tangan saya, tetapi cepat-cepat saya lepaskan. “ya sudah, ibu ambil saja, tidak usah dipikirkan!” saya berusaha menjelaskannya. “Pak kalau jas hujannya saya pakai bagaimana? Badan saya juga benar-benar kedinginan dan kasihan anak saya” kembali ibu tersebut bertanya dan sekarang membuat saya heran. Saya bingung untuk menjawabnya dan juga ragu memberikannya. Pikiran saya mulai bertanya-tanya, Apakah ibu ini berusaha memeras saya dengan apa yang ditampilkannya di hadapan saya? tapi saya entah mengapa saya benar-benar harus meng-ikhlas- kannya. Maka saya berikan raincoat saya dan kali ini saya hanya tersenyum tidak berkata sepatahpun.

Tiba tiba anaknya menangis dan semakin lama semakin kencang. Ibu tersebut sangat berusaha menghiburnya dan saya benar-benar bingung sekarang harus berbuat apa? Saya keluarkan handphone saya dan saya pinjamkan pada anak tersebut. Dia sedikit terhibur dengan handphone tersebut, mungkin karena lampunya yang menyala. Saya biarkan ibu tersebut menghibur anaknya memainkan handphone saya. Sementara itu saya berjalan agak menjauh dari mereka. Badan dan pikiran yang sudah lelah membuat saya benar-benar kembali tidak dapat berkonsentrasi. Mungkin sekitar 10 menit saya hanya diam di shelter tersebut memandangi lalu lalang kendaraan. Kemudian saya putuskan untuk segera pulang dan meninggalkan ibu dan anaknya tersebut. Saya ambil helm dan saya nyalakan motor, saya pamit dan memohon maaf kalau tidak bisa menemaninya. Saya jelaskan kalau isteri dan anak saya sudah menunggu dirumah. Ibu itu tersenyum dan mengucapkan terima kasih kepada saya.

Dia meminta no telpon rumah saya dan saya tidak menjawabnya, saya benar-benar lelah sekali dan saya berikan saja kartu nama saya. Sesaat kemudian saya lanjutkan perjalanan saya.

Saya hanya diam dan konsentrasi pada jalan yang saya lalui. Udara benar-benar terasa dingin apalagi saat itu saya tidak lagi mengenakan jaket dan raincoat ditambah gerimis kecil sepanjang jalan. Dan ketika sampai di depan garasi dan saya ingin menelpon memberitahukan ke isteri saya kalau saya sudah di depan rumah saya baru sadar kalau handphone saya tertinggal dan masih berada di tangan anak tadi. Saya benar-benar kesal dengan kebodohan saya. Sampai di dalam rumah saya berusaha menghubungi nomor handphone saya tapi hanya terdengar nada handphone dimatikan. “Gila.Saya benar-benar goblok, tidak lebih dari 30 menit saya kehilangan handphone dan semua didalamnya” dengan suara tinggi, saya katakan itu kepada isteri saya dan dia agak tekejut mendengarnya. Selanjutnya saya ceritakan pengalaman saya kepadanya. Isteri saya berusaha menghibur saya dan mengajak saya agar meng-ikhlaskan semuanya. “Mungkin Allah memang menggariskan jalan seperti ini. Sudahlah sana mandi dan shalat dulu, kalau perlu tambah shalat shunah-nya biar bisa lebih ikhlas” dia menjelaskan. Saya segera melakukannya dan tidur.

Keesokan paginya saya terpaksa berangkat kerja membawa mobil padahal hal ini, tidak terlalu saya suka. Saya selalu merasa banyak waktu terbuang jika bekerja membawa mobil ketimbang naik motor yang bisa lebih cepat mengatasi kemacetan. Kalaupun saya bawa motor saya khawatir hujan karena kebetulan saya tidak ada cadangan jaket dan raincoat juga sudah saya berikan kepada ibu dan anak tadi malam. Setelah mengantar isteri yang kerja di salah satu bank swasta di sekitar depok saya langsung menuju kantor tetapi pikiran saya terus melanglang buana terhadap kejadian tadi malam. Saya belum benar-benar meng-ikhlaskan kejadian tadi malam bahkan sesekali saya mengumpat dan mencaci ibu dan anak tersebut didalam hati karena telah menipu saya.

Sampai di kantor, saya kaget melihat sebuah bungkusan besar diselimuti kertas kado dan pita berada di atas meja kerja saya. Saya tanya ke office boy, siapa yang mengantar barang tersebut. Dia hanya menjawab dengan tersenyum kalau yang mengantar adalah supirnya ibu yang tadi malam, katanya bapak kenal dengannya setelah pertemuan semalam bahkan dia menambahkan kelihatannya dari orang berada karena mobilnya mercy yang bagus.

“Bapak selingkuh ya, pagi-pagi sudah dapat hadiah dari perempuan? tanyanya sedikit bercanda kepada saya. Saya hanya tersenyum dan saya menanyakan apakah dia ingat plat nomor mobil orang tersebut, office boy tersebut hanya menggelengkan kepala..

Segera saya buka kotak tersebut dan “Ya Allah, semua milik saya kembali. Jaket, raincoat, handphone, kartu nama dan uangnya. Yang membuat saya terkejut adalah uang yang dikembalikan sebesar 2 juta rupiah jauh melebihi uang yang saya berikan kepadanya. Dan juga selembar kertas yang tertulis ;

” Pak, terima kasih banyak atas pertolongannya tadi malam. Ini saya kembalikan semua yang saya pinjam dan maafkan jika saya tidak sopan. Kemarin saya sudah tidak tahan dan mencoba lari dari rumah setelah saya bertengkar hebat dengan suami saya karena beliau sering terlambat pulang ke rumah dengan alasan pekerjaan. Bodohnya, dompet saya hilang setelah saya berjalan-jalan dengan anak saya di Mall Cijantung. Sebenarnya saya semalam ingin melanjutkan perjalanan ke rumah kakak saya di Depok, tetapi saya jadi bingung karena tidak ada lagi uang untuk ongkos makanya saya hanya berdiam di hate bis itu. Setelah saya bertemu dan melihat bapak tadi malam, saya baru menyadari bahwa apa yang suami saya lakukan adalah demi cinta dan masa depan isteri dan anaknya juga. Salam dari suami saya untuk bapak. Salam juga dari kami sekeluarga untuk anak-isteri bapak di rumah. Suami saya berharap, biarlah bapak tidak mengetahui identitas kami dan biarlah menjadi pelajaran kami berdua . Oh ya, maaf handphone bapak terbawa dan saya juga lupa mengembalikannya tadi malam karena saya sedang larut dalam kesedihan. Terima kasih.

Dibayar lunas dengan segelas susu




Suatu hari, seorang anak lelaki miskin yang hidup dari menjual asongan dari pintu ke pintu, menemukan bahwa dikantongnya hanya tersisa beberapa sen uangnya, dan dia sangat lapar.
Anak lelaki tersebut memutuskan untuk meminta makanan dari rumah berikutnya. Walaupun rumah yang dia kunjungi merupakan rumah sederhana dan boleh dibilang miskin.
Akan tetapi anak itu kehilangan keberanian saat seorang wanita muda membuka pintu rumah. Anak itu tidak jadi meminta makanan, ia hanya berani meminta segelas air.
Wanita muda tersebut melihat, dan berpikir bahwa anak lelaki tersebut pastilah lapar, oleh karena itu ia membawakan segelas besar susu.
Anak lelaki itu meminumnya dengan lambat, dan kemudian bertanya, "berapa saya harus membayar untuk segelas susu ini ?"
Wanita itu menjawab: "Kamu tidak perlu membayar apapun". "Ibu kami mengajarkan untuk tidak menerima bayaran untuk kebaikan" kata wanita itu menambahkan.
Anak lelaki itu kemudian menghabiskan susunya dan berkata :" Dari dalam hatiku aku berterima kasih pada anda."
Belasan tahun kemudian, wanita muda yang telah berusia lanjut tersebut mengalami sakit yang sangat komplek dan kritis. Para dokter di kotanya itu sudah tidak sanggup menanganinya.
Mereka akhirnya mengirimnya ke kota besar, dimana terdapat dokter spesialis yang mampu menangani penyakit langka tersebut.
Dr. Howard Kelly dipanggil untuk melakukan pemeriksaan. Pada saat ia mendengar nama kota asal si wanita tersebut, terbersit seberkas pancaran aneh pada mata dokter Kelly.
Segera ia bangkit dan bergegas turun melalui hall rumahsakit, menuju kamar si wanita tersebut.
Dengan berpakaian jubah kedokteran ia menemui si wanita itu. Ia langsung mengenali wanita itu pada sekali pandang. Ia kemudian kembali ke ruang konsultasi dan memutuskan untuk melakukan upaya terbaik untuk menyelamatkan nyawa wanita itu. Mulai hari itu, Ia selalu memberikan perhatian khusus pada kasus wanita itu.
Setelah melalui perjuangan yang panjang, akhirnya diperoleh kemenangan.. . Wanita itu sembuh !!. Dr. Kelly meminta bagian keuangan rumah sakit untuk mengirimkan seluruh tagihan biaya pengobatan kepadanya untuk persetujuan.
Dr. Kelly melihatnya, dan menuliskan sesuatu pada pojok atas lembar tagihan, dan kemudian mengirimkannya ke kamar pasien.
Wanita itu takut untuk membuka tagihan tersebut, ia sangat yakin bahwa ia tak akan mampu membayar tagihan tersebut walaupun harus dicicil seumur hidupnya.
Akhirnya Ia memberanikan diri untuk membaca tagihan tersebut, dan ada sesuatu yang menarik perhatuannya pada pojok atas lembar tagihan tersebut. Ia membaca tulisan yang berbunyi..
"Telah dibayar lunas dengan segelas susu.." tertanda, DR Howard Kelly.

Melangkah Yang Indah

Melangkah Yang Indah

4ff543fb4e9616c131e5e0fdc942a27b_pathSuatu hari, seorang pendayung perahu mengayuh ke arah hulu. Tiba-tiba ia terkejut melihat ada perahu meluncur deras sekali dari arah hulu persis ke arah dirinya. Tentu saja ia berteriak: “Awas!”. Dan tabrakan pun tidak bisa dihindarkan. Melihat dirinya nyaris mati, perahunya retak, maka marahlah dia sekencang-kencangnya dengat kata-kata sekenanya. Setelah lelah marah, ia mencoba melihat wajah manusia yang ceroboh tadi. Ternyata, tidak ada manusia dalam perahu tadi.
Pelajarannya yang bisa ditarik dari sini, betapa cepatnya manusia marah. Bahkan ketika informasi belum jelas, kemarahan sudah menghadang. Ujungnya, kedamaian terbang entah ke mana. Oleh karena itulah, di setiap pojokan pelayanan,  banyak guru  mengajarkan pentingnya melangkah  indah penuh kedamaian.
Kebanyakan orang mengira kedamaian baru diperoleh setelah  keinginan  terpenuhi.  Dan  ternyata,  sedikit yang menemukan kedamaian dengan cara ini. Terutama karena keinginan bergerak naik sejalan dengan tercapainya sejumlah keinginan. Tatkala keinginan  memiliki motor tercapai, muncul keinginan membeli mobil. Setelah menjadi manajer, muncul keinginan menjadi direktur. Sehingga lelahlah kehidupan karena terus berkejaran.
Terinspirasi dari sini, sebagian pencari kedamaian kemudian menggunakan cara lain yakni belajar menemukan kedamaian dengan cara “berhenti”. Pengertian berhenti di sini adalah menemukan wajah kedamaian dari setiap pengalaman kekinian. Bangun tidur sebagai contoh, ia juga membawa kedamaian. Terutama karena sebagian manusia ketika berusaha bangun di pagi hari tidak bisa karena keburu mati. Disamping itu, bangun pagi memberikan kesempatan untuk merenung, mau diisi dengan apa kehidupan di hari ini. Bila diisi dengan pelayanan, kedamaian buahnya. Jika diisi dengan kejahatan, penderitaan hukumannya.
Bagi kebanyakan orang, kerja itu membosankan. Ia lawannya rekreasi. Lelah, capek,  serba salah, kalau benar atasan diam bila salah atasan mengomel. Tatkala pelayanan baik pelanggan melenggang saat pelayanan salah sedikit saja maka makian menghadang. Itulah gambaran tentang kerja yang  dibikin  banyak manusia.
Pencinta kedamaian lain lagi. Kerja bukan tong sampah yang berisi keluhan, kerja menyembunyikan berlimpah peluang untuk menemukan kedamaian.  Perhatikan setiap tugas yang datang. Dengan sedikit cara pandang positif terlihat, kerja adalah cermin kepercayaan atasan ke kita. Tanpa rasa percaya atasan tidak mungkin ada kerja. Dengan demikian ada kedamaian dalam setiap tugas yang datang.
Kemarahan atasan atau keluhan pelanggan sebagai contoh lain, ia adalah terbukanya pintu perbaikan diri. Tanpa kemarahan atasan dan keluhan pelanggan, kita semua seperti petinju tanpa lawan, bermain sepak bola tanpa ada yang menghitung skor menang kalah. Datar dan bosan sekali kerja jadinya. Untuk itulah, ada kedamaian di balik kemarahan atasan dan keluhan pelanggan.
Gaji dan bonus yang tidak memuaskan kerap menjadi bom yang menghancurkan kedamaian. Dari segi pekerja, judul yang diambil adalah boss pelit, pengusaha yang mau untung sendiri. Dari segi atasan dan pengusaha, judulnya adalah penghematan, investasi masa depan. Dan lenyaplah kedamaian dari dunia kerja. Padahal, dengan sedikit rasa syukur dan kerelaan untuk berhenti membandingkan kehidupan dengan mereka yang lebih tinggi, gaji dan bonus sekecil apapun bisa menjadi sumber kedamaian. Dalam bahasa seorang guru, we can be prosper at any level of income.
Makan, pakaian, penampilan, kendaraan semuanya bisa disesuaikan dengan tingkat penghasilan. Memaksa agar  selalu lebih baik dibandingkan orang, itulah bom penghancur kedamaian yang sesungguhnya.
Apa yang mau diceritakan dengan seluruh ilustrasi ini sederhana, ada peluang kedamaian di setiap langkah kehidupan. Dan kedamaian akan mendekap, kesembuhan akan mendekat, bila kita rajin melatih diri untuk memandang secara mendalam (tidak terlalu mudah dibawa lari kemarahan), melihat terbukanya pintu kedamaian di setiap kejadian, serta rajin berbagi senyuman. Terutama karena senyuman adalah tanda bahwa seseorang sudah menjadi tuan bukan korban kehidupan.
Bahan renungan:
1. Kelangkaan kedamaian, itu keluhan banyak orang
2. Padahal, dengan belajar “berhenti” dikejar keinginan plus sejumlah rasa syukur, kehidupan sesungguhnya sebuah kedamaian
3. Ia yang memandang secara mendalam, bahwa semua mau bahagia, semua tidak mau menderita, rajin berbagi senyuman dan pelayanan, suatu hari mengerti bahwa setiap langkah adalah indah

sumber : http://gedeprama.blogdetik.com/2012/10/05/melangkah-yang-indah/

Indah Apa Adanya

Indah Apa Adanya

d4ee38755524296cad69bc80e5ea0d8a_bunga8Kekayaan ekonomi mendikte pengetahuan dan kekuasaan, mungkin ini ciri utama zaman ini. Beberapa puluh tahun lalu, ketika kedigdayaan ekonomi Amerika Serikat lagi di puncak, ia memproduksi sekolah bisnis. Harvard ketika itu menjadi semacam ikon yang ditiru dunia. Di akhir 1980an, keajaiban ekonomi Jepang membuat dunia terkagum-kagum, kemudian diikuti oleh studi yang membuahkan konsep budaya korporasi. Lagi-lagi dunia ikut nurut. Di tahun 2010 ini, China menjadi kekuatan ekonomi yang tidak bisa dibendung. Dan sudah mulai ada peneliti yang mengkait-kaitkan kemajuan ekonomi China dengan budaya Konfusian.
Kekuasaan di negeri ini  serupa. Jangankan posisi yang jauh dari pantauan publik, bahkan menteri dengan integritas tinggi pun tumbang digusur oleh kekuasaan beraroma uang.
Mungkin itu sebabnya John Law dkk (1991) memberi judul karyanya   A   Sociology   of   Monster.  Pengetahuan (apa lagi kekuasaan) mulai diragukan bisa menjadi lahan-lahan subur pertumbuhan kebenaran, sebaliknya malah larut dibawa arus uang, kemudian ikut-ikutan menjadi monster yang memangsa kebenaran. Pertanyaannya kemudian, mungkinkah muncul manusia otentik di zaman ini?
Muncul Lenyap
Sebagai langkah awal membuka tirai kejernihan, sesungguhnya tidak saja pengetahuan dan kekuasaan yang berputar perannya dari waktu ke waktu, semuanya berputar. Ia sesederhana matahari, pagi muncul dengan hawa hangat, siang panas menyakitkan, sore lenyap menyisakan kegelapan.
Itu sebabnya, dalam meditasi diajarkan untuk melihat ketidakkekalan dengan jarak yang sama. Perhatikan manusia yang dijumpai dalam keseharian. Di suatu waktu ia memuji, di lain waktu ia memaki, di kesempatan lain ia lupa.
Mantan presiden Filipina Ferdinand Marcos adalah contoh indah. Puluhan tahun dikagumi banyak orang lengkap dengan kekuasaannya, di lain waktu ia ditumbangkan. Ujung kekuasaannya tidak menyisakan apa-apa, bahkan mayatnya pun tidak diperbolehkan masuk Filipina. Sekian puluh tahun berlalu, salah satu putera Marcos memutar balik sejarah dengan memperoleh dukungan dalam pemilu. Bukan tidak mungkin keluarga itu akan dihormati lagi.
Nelson Mandela di Afrika Selatan adalah contoh lain. Selama 27 tahun merana di lembaga pemasyarakatan. Ketika rezim kulit putih jatuh, ia muncul menjadi pahlawan. Tatkala cerai dengan istrinya, sebagian mata memandang dengan pandangan miring. Inilah yang disebut ketidakkekalan. Tidak saja    manusia   di   luar   sana   tidak  kekal,  tubuh  ini hari ini menyenangkan karena makan enak, besok menyakitkan karena terkena penyakit, hari lain terlupakan karena sibuk.
Memaksa bahwa hidup harus terus penuh kesenangan, itulah penderitaan. Menjaga jarak yang sama pada setiap kejadian, itulah kedamaian dan kebebasan. Dari sanalah kemudian mungkin muncul kualitas otentik yang tidak bisa diperkosa monster uang dan kekuasaan.
Senyum Saja
Clouds in the sky of enlightenment, demikianlah pesan guru tercerahkan (baca: otentik) pada muridnya dalam mengarungi kehidupan. Semua pengalaman kehidupan serupa awan di langit pencerahan. Kesenangan serupa awan putih, kesedihan mirip awan hitam. Awan hitam tidak membuat langit jadi hitam, awan putih tidak membuat langit jadi putih. Apa pun yang terjadi, langit tetap biru luas tidak terbatas.
Bagi batin  tercerahkan, kebahagiaan yang diperebutkan tidak menambahkan apa-apa, kesedihan yang dienyahkan  tidak mengurangkan apa-apa.  Terutama karena terlihat terang benderang, semua berputar indah apa adanya. Perhatikan ikan yang hidup di air, burung yang terbang di udara. Ikan tidak menyebut burung bodoh karena tidak mengenal kehidupan dalam air, burung tidak menyebut ikan kurang wawasan karena tidak terbang ke mana-mana. Keduanya bahagia apa adanya. Mendengar penjelasan seperti ini, ada yang mengungkapkan keraguan, kalau begitu manusia tercerahkan pasif dan tidak melakukan apa-apa?
Kendati tidak tersentuh oleh kejadian, sifat alami mahluk tercerahkan penuh kasih sayang. Seperti air yang tidak bisa dipisahkan dengan basah, api yang tidak bisa dipisahkan dengan   panas,   pencerahan   tidak  bisa   dipisahkan dengan kasih sayang. Oleh karena itulah, mahluk tercerahkan kesehariannya banyak senyuman. Tatkala gembira ia senyum, saat berduka juga senyum. Mungkin kedengarannya aneh, namun demikianlah keseharian mahluk tercerahkan, terutama karena yang mengagumkan muncul lenyap, yang menjengkelkan muncul lenyap.  Seperti matahari, apa pun komentar orang, besok pagi ia tetap terbit kembali melayani kehidupan.
Seorang anak muda protes keras, kesannya cuek dan membosankan? Keheningan yang tidak dipeluk kasih sayang tidak pernah diajarkan sebagai jalan pencerahan. Setelah membadankan dalam-dalam hakekat semua fenomena yang muncul lenyap, guru-guru tercerahkan kemudian mengisi hidupnya dengan pelayanan. Bukan pelayanan yang memaksa harus masuk surga, bukan juga pelayanan yang trauma akan neraka. Sebagaimana samudera yang selalu membawa kegembiraan gelombang, pencerahan selalu membawa kegembiraan kasih sayang bersamanya. Ada kebahagiaan menawan di balik  penerapan kasih sayang.
Seorang kakek ditanya cucunya, kenapa orang tercerahkan juga dimaki dan disakiti?. Dengan lembut kakeknya bergumam, semua memiliki sifat alami masing-masing. Seperti kambing, bila dikasi rumput dimakan, jika dikasi daging akan menghindar, tanpa perlu mencaci bahwa pemakan daging dosa dan masuk neraka. Serupa serigala, jika dikasi daging dimakan diberi rumput menghindar, tanpa mencaci bahwa orang vegetarian bodoh dan tolol. Sejalan dengan ini, sejumlah manusia memang panggilan alaminya memaki dan menyakiti. Dan dalam pandangan guru tercerahkan, makian adalah bel kesadaran untuk selalu peduli dan rendah hati. Ketika disakiti, sesungguhnya manusia sedang mengalami pemurnian.
Bila begini cara mengalami kehidupan, maka uang dan kekuasaan berhenti menjadi monster menakutkan. Sekaligus membukakan kemungkinan bagi terlahirnya manusia otentik.
Bahan renungan:
1. Muncul lenyap, itulah sifat alami semua fenomena. Yang baik muncul-lenyap, yang busuk muncul-lenyap
2. Ciri manusia menderita sederhana, mencengkeram berlebihan yang baik, sehingga menderita saat yang baik lepas. Menendang berlebihan yang buruk, padahal putaran waktunya sudah tiba bagi yang buruk untuk menjadi tamu kehidupan. Dan menderita juga
3. Mahluk tercerahkan berbeda, ia mendidik diri secara keras untuk menjadi langit, kemudian melihat semua fenomena sesederhana awan yang muncul lenyap. Inilah pintu kedamaian yang terbuka.

sumber : http://gedeprama.blogdetik.com/2012/09/21/indah-apa-adanya/

Menyatu Dalam Doa

Menyatu Dalam Doa

d4b3ad6869079416d7b64bf2343d9fb2_cerahSuatu hari sepasang pemuda menemukan sepuluh berlian. Tentu saja keduanya berebut ribut. Yang melihat pertama kali memaksa dapat lebih, yang mengambil dari tanah juga sama. Akhirnya mereka sepakat  menyerahkan pembagiannya pada Nasrudin. Dengan lembut Nasrudin bertanya: “mau cara Allah atau cara manusia?”. Pemuda yang berpeci langsung menjawab agar dibagi dengan cara Allah. Akibatnya,  Nasrudin memberikan pemakai peci dua berlian, memberikan delapan berlian pada pemuda tanpa peci.
Tentu saja ini mengundang protes keras. Lagi-lagi Nasrudin bergumam pelan: “ciri manusia yang dekat dengan Allah suka mengalah, menemukan kebahagiaan melihat orang lain bahagia”. Bukan Nasrudin namanya kalau tidak menyentak kesadaran. Sementara sebagian orang egonya membesar, seiring dengan semakin dalamnya doa, Nasrudin menyentak sebaliknya.
Di mana ego dan keakuan itu mengecil, mengecil dan akhirnya menghilang diganti kasih sayang, di sana buah spiritual bernama pencerahan terbit seperti matahari pagi mengusir kegelapan. Ego dan keakuan dengan berbagai bentuk dan akal bulusnya suka menipu manusia. Bila ia tidak bisa menggoda dengan harta, tahta, wanita, ego bisa mengenakan jubah Tuhan. Itu sebabnya mereka yang penggalian ke dalamnya sudah demikian mengagumkan, sejak awal ego sudah diwaspadai. Mirip dengan mewaspadai kegelapan yang membuat tali menjadi  menakutkan karena dikira ular. Dan begitu cahaya terang dihidupkan (baca: tercerahkan), seluruh ketakutan termasuk ketakutan akan kematian lenyap. Disamping itu, mentari pencerahan juga menghadirkan kerinduan akan pelayanan. Seperti nasehat Nasrudin, indah tatkala mengalah dan berbahagia saat melihat orang lain bahagia.
Di mata orang biasa, orang-orang seperti Nasrudin memang mudah dikira bodoh, tolol dan menderita, tapi di mata mahluk tercerahkan ini mengagumkan. Terutama karena di zaman yang hanya menghargai kemenangan, kemenangan dan kemenangan, kalah seperti dihantam setan, serupa dikutuk Tuhan secara menakutkan. Dan sedikit yang bisa menemukan sesungguhnya ada yang indah ketika kalah. Serupa kayu yang sedang dihaluskan menjadi patung, seperti bambu yang sedang dilobangi menjadi seruling, mirip logam emas yang dibakar menjadi anting indah nan menawan, demikianlah bentuk keindahan yang ada di balik kekalahan. Syarat untuk sampai di sini sederhana, tidak melawan dan menendang, sebaliknya tersenyum memeluk ketulusan dan keikhlasan.
Ini yang menerangkan kenapa ada yang berbeda tatkala melihat senyuman Nelson Mandela, Bunda Teresa atau YM Dalai Lama. Kenapa kebajikan Haji Bambang di Bali mengundang   demikian   banyak  kekaguman orang. Bagi hati yang bersih, lama terhubung dengan kesucian, menemukan kebahagiaan dalam pelayanan, bisa menangis haru tatkala melihat senyuman orang-orang ini. Kemudian memunculkan kerinduan untuk  menyayangi dan menolong orang lain. Karena itulah doa sesungguhnya.
Seorang remaja pernah meneteskan air mata tatkala mendengar tangisan banyak babi disembelih di hari raya tertentu di Bali. Tatkala ditanya kenapa, dengan sedih ia bergumam, ia merasakan rasa sakit babi yang disembelih. Ini juga wajah lain manusia yang menyatu dalam doa, tidak saja lapar menyayangi dan melayani, tetapi juga merasakan penderitaan mahluk lain.
Terinspirasi dari kisah-kisah seperti ini, maka sebagian kecil manusia yang sudah menyatu dalam doa kemudian mengurangi frekuensi kunjungan ke tempat ibadah. Mereka berhenti berdoa dengan cara yang dilakukan oleh kebanyakan orang. Namun pergi ke tengah keramaian, menyediakan tangan untuk pelayanan. Itu sebabnya, tatkala seorang guru zen tercerahkan mencari tempat mengajar meditasi di Amerika Serikat, ia menolak tempat-tempat damai seperti di pinggir danau yang sejuk,  pantai yang sepi, di gunung yang hening. Tatkala muridnya menunjukkan tempat di gang sebuah kawasan kumuh di New York yang berisi orang berkelahi, manusia menyuntikkan narkoba, guru ini langsung berguman: “inilah tempat di mana vibrasi kedamaian diperlukan”.
Bahan renungan:
1. Terlalu banyak manusia yang berdoa lengkap dengan segala variasinya
2. Cuman, tidak banyak yang tersambung  ke alam doa. Terutama karena kebanyakan manusia masih di angka 2 (baca: antara penyembah dan yang disembah masih terpisah)
3. Menyatu dalam doa (baca: angka 1) terjadi tatkala ego dan keakuan lenyap digantikan pelayanan dan kasih sayang. Yang sudah lama tenggelam dalam pelayanan mengerti, ternyata yang melayani dan yang dilayani tidak ada (baca: angka 0)

sumber : http://gedeprama.blogdetik.com/2012/10/19/menyatu-dalam-doa/

Mata Pencaharian