Pulang, Pulang, Pulang
Menyusul
perkelahian massal di Bangli bulan Juli 2011 yang menelan nyawa
manusia, seorang sahabat bertanya, bagaimana mungkin di tempat sejuk
seperti Bangli bisa terjadi peristiwa panas? Seorang murid yang penuh
bakti lain lagi, ia mengirim pesan: “Guru, lebih sering pulang, Bali
memerlukan lebih banyak kesejukan”.
Mulih
Meminjam cara pandang tetua Bali, tiap kali perisitiwa ekstrim
terjadi tetua selalu menoleh ke Pura. Dan sulit untuk tidak menoleh ke
Pura Kehen tatkala Bangli dinodai darah manusia lagi. Terutama karena
masih terang dalam ingatan di mana seorang wartawan dihabisi nyawanya
juga di Bangli. Kebanyakan warga Bangli khususnya dan sebagian krama
Bali umumnya tahu, di Pura Kehen yang berumur amat tua ini tetua
menyimpan prasasti tua yang mengingatkan orang Bali untuk pulang.
Pengertian pulang memang amat beragam. Tapi sebagian pencari yang
sudah menghirup sejuknya puncak gunung spiritualitas tahu, pulang serupa
dengan masa kanak-kanak dulu. Di mana sehabis jam sekolah kita berlari
ke rumah, ke sebuah tempat di mana semuanya disambut dengan senyuman dan
pelukan. Dan bukan kebetulan yang tidak bermakna apa-apa, bila tidak
jauh dari Pura Kehen, masih dalam kawasan kabupaten Bangli, di tempat di
mana danau (yoni) memeluk gunung (linggam), tetua
mendirikan Pura Jati alias rumah sejati. Di sana tidak saja hawanya
sejuk, pemandangannya indah, tapi juga penuh vibrasi kesejatian. Di
tataran kesejatian, dualitas (benar-salah, baik-buruk, suci-kotor) tidak
ada sebagai bahan-bahan perkelahian. Melainkan menjadi kekuatan yang
saling menerangi. Ia serupa malam yang membukakan pintu bagi datangnya
siang. Mirip kegagalan yang membuat kesuksesan menjadi lebih kaya rasa.
Demikian juga dengan kejahatan, ia memberikan pembanding tentang
indahnya kebajikan.
Digabung menjadi satu, pesannya terang benderang, kekerasan bukan
rumah alami orang Bali. Bali dikagumi dunia bukan karena peritiwa
kekerasan di tahun 1965, tapi karena kedamaiannya yang menawan. Boleh
tanya ke wisatawan manca negara yang kerap datang, apa lagi yang dicari
di Bali kalau bukan kedamaian. Tatkala bom teroris  pertama kali
meledak di Bali, lagi-lagi dunia menatap kagum ke pulau Bali, bukan
karena batu yang dilemparkan ke tempat ibadah orang lain, melainkan
karena keluasan pandangan, kedalaman  sikap  orang Bali  yang
berujung pada satu hal: “semuanya dipeluk lembut dengan senyuman”. Yang
lebih menyentuh hati lagi, orang yang diberi berkah berlimpah oleh pulau
Bali setelah bom meledak adalah nyama selam (saudara kandung
kita yang beragama Islam) Bapak Haji Bambang. Bila boleh jujur, inilah
Parama Shanti yang menjadi puncak persembahyangan  orang  Bali. Di
mana  tidak  ada ruang bagi kekerasan, semuanya dipeluk lembut dengan
senyuman. Tetua Bali menyebutnya Embang (hening). Ada puranya yang
berlokasi sekitar danau Tamblingan.
Semua ini  berpesan terang sekali, pulang ke rumah sejati. Di rumah sejati, berlaku rumus sahabat dari Manado: “torang basodara“.
Kita semua bersaudara dalam kasih sayang, satu orang tua dalam belas
kasih, satu atap rumah yang sama karena sama-sama mau bahagia sama-sama
tidak mau menderita. Atau berlaku rumus tetua di Jawa: mangan ora mangan
ngumpul. Persahabatan, kekerabatan, kasih sayang lebih tinggi nilainya
dibandingkan dengan nafsu rendah yang hanya mengutamakan perut kenyang.
Dalam buku suci Tantra ditulis terang sekali, kita pernah terlahir
dalam jumlah yang tidak terhitung. 0leh karena itu, ada tidak terhitung
jumlah makhluk di alam ini yang pernah menjadi ibu, bapak, Guru, saudara
kandung, dokter atau perawat yang pernah menolong dan menyembuhkan
kita. Bila ini acuannya, kegiatan saling menyakiti tidak saja tidak
memungkinkan manusia membayar hutang-hutang karmanya yang berlimpah,
malah menambahnya dengan hutang-hutang karma baru yang lebih menakutkan.
Seorang Guru di India sekitar dua ribu  enam ratus tahun lalu
ditanya, seberapa banyak manusia yang setelah meninggal perjalanannya
naik dan turun? Dengan mengejutkan Guru yang mata spiritualnya sudah
terbuka sempurna ini menjawab: “yang bergerak naik sebanyak pasir dalam
genggaman, yang bergerak turun sebanyak pasir di sepanjang sungai
Gangga”. Bayangkan, itu dua ribu enam ratus tahun yang lalu. Di sebuah
waktu di mana belum terdengar adanya alat-alat penghancur dengan daya
musnah sedahsyat saat ini. Sekarang, di mana yang disebut berita adalah
permusuhan, yang  dibaca  dan  ditonton  orang  adalah
 perkelahian, yang didengar orang kebanyakan adalah kebencian, tanpa
bekal-bekal spiritualitas mendalam, sulit untuk tidak mengatakan bila di
zaman ini yang jatuh turun ke alam binatang, setan bahkan neraka
setelah meninggal malah lebih banyak lagi.
Membuka tirai seperti ini, tentu bukan untuk menakut-nakuti orang,
tapi untuk membunyikan Genta yang sudah dikumandangkan lagi dan lagi:
“pulang, pulang, pulang”. Seperti anak-anak yang bermain, kemarahan,
kekerasan, permusuhan menunjukkan bahwa anak-anak spiritual sudah
bermain terlalu jauh dari rumah. Kecelakaan, kesialan, kematian adalah
tangan keras Guru yang mencubit dengan penuh kasih sayang. Dengan niat
tidak lain dan tidak bukan agar para murid tidak jatuh turun setelah
waktu kematian. Syukur-syukur bisa mendekati Guru, belajar spiritualitas
mendalam, kemudian ikut membantu Guru meringankan beban penderitaan
banyak sekali makhluk yang memerlukan pertolongan.
Kebanyakan sahabat yang terlahir di desa tua Bali tahu, persahabatan,
persaudaraan, pertemanan itulah menu spiritual keseharian orang Bali.
Di desa Tajun Bali Utara sebagai contoh, dulunya tidak ada buruh tani.
Melalui tradisi tua yang sudah nyaris punah bernama nguwun,
semua pekerjaan ladang dikerjakan bersama-sama sebagai bukti betapa
kentalnya menu-menu persahabatan, persaudaraan, pertemanan dalam darah
spiritual orang Bali.
Tidak semua orang Bali menyukai pendekatan pulang seperti ini.
Sebagian malah menuduh  undangan untuk pulang ini sebagai bahan-bahan
kemunduran. Dan tentu saja ini layak dihormati. Namun, di putaran waktu
tatkala kekerasan sudah demikian memanasnya bahkan di tempat sejuk
sekalipun sekaligus memakan nyawa manusia, kita memerlukan
kelembutan-kelembutan. Sebagaimana tubuh fisik yang nyaman pulang, tubuh
spiritual juga memiliki kerinduan untuk pulang. Bila kekerasan
bermusuhan bahkan dengan sesama kekerasan, kelembutan tidak bermusuhan
dengan siapa-siapa. Puncak kelembutan ketemu tatkala seseorang bisa
melihat, memperlakukan semua sempurna pada tempatnya. Sesempurna rumput
yang berwarna hijau, laut yang berwarna biru.
Sehabis ini, terpulang ke orang Bali, mau pulang ke rumah sejati,
atau terasing (merasa aneh) di tengah arus zaman sehingga bernasib
seperti ikan di udara, serupa burung di kedalaman lautan.
sumber : http://gedeprama.blogdetik.com/2012/11/01/pulang-pulang-pulang/
Selasa malam itu, setelah hujan lebat mengguyur Jakarta, gerimis masih
turun. Saya pacu motor dengan cepat dari kantor disekitar Blok-M menuju
rumah di Cimanggis-Depok. Kerja penuh seharian membuat saya amat lelah
hingga di sekitar daerah Cijantung mata saya sudah benar-benar tidak
bisa dibuka lagi. Saya kehilangan konsentrasi dan membuat saya
menghentikan motor dan melepas kepenatan di sebuah shelter bis di
seberang Mal Cijantung. Saya lihat jam sudah menunjukan pukul 10.25
malam.
Keadaan jalan sudah lumayan sepi. Saya telpon isteri saya kalau saya
mungkin agak terlambat dan saya katakan alasan saya berhenti sejenak.
Setelah saya selesai menelpon baru saya menyadari kalau disebelah saya
ada seorang ibu muda memeluk seorang anak lelaki kecil berusia sekitar 2
tahun. Tampak jelas sekali mereka kedinginan. Saya terus
memperhatikannya dan tanpa terasa airmata saya berlinang dan teringat
anak saya (Naufal) yang baru berusia 14 bulan. Pikiran saya terbawa dan
berandai-andai, “Bagaimana jadinya jika yang berada disitu adalah isteri
dan anak saya?”
Tanpa berlama-lama saya dekati mereka dan saya berusaha menyapanya. ”
Ibu,ibu,kalau mau ibu boleh ambil jaket saya, mungkin sedikit kotor tapi
masih kering. Paling tidak anak ibu tidak kedinginan” Saya segera
membuka raincoat dan jaket saya, dan langsung saya berikan jaket saya.
Tanpa bicara, ibu tersebut tidak menolak dan langsung meraih jaket saya.
Pada saat itu saya baru sadar bahwa anak lelakinya benar-benar
kedinginan dan giginya bergemeletuk.
“Tunggu sebentar disini bu!” pinta saya. Saya lari ke tukang jamu yang
tidak jauh dari shelter itu dan saya meminta air putih hangat padanya.
Dan alhamdulillah, saya justeru mendapatkan teh manis hangat dari tukang
jamu tersebut dan segera saya kembali memberikannya kepada ibu
tersebut. “Ini bu,.. kasih ke anak ibu!” selanjutnya mereka meminumnya
berdua.
Saya tunggu sejenak sampai mereka selesai. Saya hanya diam memandangi
lalu lalang kendaraan yang lewat “Bapak, terima kasih banyak, mau
menolong saya” sesaat kemudian ibu tersebut membuka percakapan. Ah,
tidak apa-apa, ngomong-ngomong ibu pulang kemana? Tanya saya Saya
tinggal di daerah Bintaro tapi…(dia menghentikan bicaranya), Bapak
pulang bekerja ? dia balas bertanya.
“Ya” jawab saya singkat.
“Kenapa sampai larut malam pak, memangnya anak isteri bapak tidak
menunggu? Tanyanya lagi. Saya diam sejenak karena agak terkejut dengan
pertanyaannya.
“Terus terang bu, sebenarnya selama ini saya merasa bersalah karena
terlalu sering meninggalkan mereka berdua. Tapi mau bilang apa, masa
depan mereka adalah bagian dari tanggung jawab saya. Saya hanya berharap
semoga Allah terus menjaga mereka ketika saya pergi.” Mendengar jawaban
saya si ibu terisak, saya jadi serba salah. “Bu, maafkan saya kalau
saya salah omong.
Pak kalau boleh saya minta uang seratus ribu, kalau bapak berkenan?
Pintanya dengan sedih dan sopan. Airmatanya berlinang sambil
mengencangkan pelukan ke anak lelakinya.
Karena perasaan bersalah, saya segera keluarkan uang limapuluh-ribuan 2
lembar dan saya berikan padanya. Dia berusaha meraih dan ingin mencium
tangan saya, tetapi cepat-cepat saya lepaskan. “ya sudah, ibu ambil
saja, tidak usah dipikirkan!” saya berusaha menjelaskannya. “Pak kalau
jas hujannya saya pakai bagaimana? Badan saya juga benar-benar
kedinginan dan kasihan anak saya” kembali ibu tersebut bertanya dan
sekarang membuat saya heran. Saya bingung untuk menjawabnya dan juga
ragu memberikannya. Pikiran saya mulai bertanya-tanya, Apakah ibu ini
berusaha memeras saya dengan apa yang ditampilkannya di hadapan saya?
tapi saya entah mengapa saya benar-benar harus meng-ikhlas- kannya. Maka
saya berikan raincoat saya dan kali ini saya hanya tersenyum tidak
berkata sepatahpun.
Tiba tiba anaknya menangis dan semakin lama semakin kencang. Ibu
tersebut sangat berusaha menghiburnya dan saya benar-benar bingung
sekarang harus berbuat apa? Saya keluarkan handphone saya dan saya
pinjamkan pada anak tersebut. Dia sedikit terhibur dengan handphone
tersebut, mungkin karena lampunya yang menyala. Saya biarkan ibu
tersebut menghibur anaknya memainkan handphone saya. Sementara itu saya
berjalan agak menjauh dari mereka. Badan dan pikiran yang sudah lelah
membuat saya benar-benar kembali tidak dapat berkonsentrasi. Mungkin
sekitar 10 menit saya hanya diam di shelter tersebut memandangi lalu
lalang kendaraan. Kemudian saya putuskan untuk segera pulang dan
meninggalkan ibu dan anaknya tersebut. Saya ambil helm dan saya nyalakan
motor, saya pamit dan memohon maaf kalau tidak bisa menemaninya. Saya
jelaskan kalau isteri dan anak saya sudah menunggu dirumah. Ibu itu
tersenyum dan mengucapkan terima kasih kepada saya.
Dia meminta no telpon rumah saya dan saya tidak menjawabnya, saya
benar-benar lelah sekali dan saya berikan saja kartu nama saya. Sesaat
kemudian saya lanjutkan perjalanan saya.
Saya hanya diam dan konsentrasi pada jalan yang saya lalui. Udara
benar-benar terasa dingin apalagi saat itu saya tidak lagi mengenakan
jaket dan raincoat ditambah gerimis kecil sepanjang jalan. Dan ketika
sampai di depan garasi dan saya ingin menelpon memberitahukan ke isteri
saya kalau saya sudah di depan rumah saya baru sadar kalau handphone
saya tertinggal dan masih berada di tangan anak tadi. Saya benar-benar
kesal dengan kebodohan saya. Sampai di dalam rumah saya berusaha
menghubungi nomor handphone saya tapi hanya terdengar nada handphone
dimatikan. “Gila.Saya benar-benar goblok, tidak lebih dari 30 menit saya
kehilangan handphone dan semua didalamnya” dengan suara tinggi, saya
katakan itu kepada isteri saya dan dia agak tekejut mendengarnya.
Selanjutnya saya ceritakan pengalaman saya kepadanya. Isteri saya
berusaha menghibur saya dan mengajak saya agar meng-ikhlaskan semuanya.
“Mungkin Allah memang menggariskan jalan seperti ini. Sudahlah sana
mandi dan shalat dulu, kalau perlu tambah shalat shunah-nya biar bisa
lebih ikhlas” dia menjelaskan. Saya segera melakukannya dan tidur.
Keesokan paginya saya terpaksa berangkat kerja membawa mobil padahal hal
ini, tidak terlalu saya suka. Saya selalu merasa banyak waktu terbuang
jika bekerja membawa mobil ketimbang naik motor yang bisa lebih cepat
mengatasi kemacetan. Kalaupun saya bawa motor saya khawatir hujan karena
kebetulan saya tidak ada cadangan jaket dan raincoat juga sudah saya
berikan kepada ibu dan anak tadi malam. Setelah mengantar isteri yang
kerja di salah satu bank swasta di sekitar depok saya langsung menuju
kantor tetapi pikiran saya terus melanglang buana terhadap kejadian tadi
malam. Saya belum benar-benar meng-ikhlaskan kejadian tadi malam bahkan
sesekali saya mengumpat dan mencaci ibu dan anak tersebut didalam hati
karena telah menipu saya.
Sampai di kantor, saya kaget melihat sebuah bungkusan besar diselimuti
kertas kado dan pita berada di atas meja kerja saya. Saya tanya ke
office boy, siapa yang mengantar barang tersebut. Dia hanya menjawab
dengan tersenyum kalau yang mengantar adalah supirnya ibu yang tadi
malam, katanya bapak kenal dengannya setelah pertemuan semalam bahkan
dia menambahkan kelihatannya dari orang berada karena mobilnya mercy
yang bagus.
“Bapak selingkuh ya, pagi-pagi sudah dapat hadiah dari perempuan?
tanyanya sedikit bercanda kepada saya. Saya hanya tersenyum dan saya
menanyakan apakah dia ingat plat nomor mobil orang tersebut, office boy
tersebut hanya menggelengkan kepala..
Segera saya buka kotak tersebut dan “Ya Allah, semua milik saya kembali.
Jaket, raincoat, handphone, kartu nama dan uangnya. Yang membuat saya
terkejut adalah uang yang dikembalikan sebesar 2 juta rupiah jauh
melebihi uang yang saya berikan kepadanya. Dan juga selembar kertas yang
tertulis ;
” Pak, terima kasih banyak atas pertolongannya tadi malam. Ini saya
kembalikan semua yang saya pinjam dan maafkan jika saya tidak sopan.
Kemarin saya sudah tidak tahan dan mencoba lari dari rumah setelah saya
bertengkar hebat dengan suami saya karena beliau sering terlambat pulang
ke rumah dengan alasan pekerjaan. Bodohnya, dompet saya hilang setelah
saya berjalan-jalan dengan anak saya di Mall Cijantung. Sebenarnya saya
semalam ingin melanjutkan perjalanan ke rumah kakak saya di Depok,
tetapi saya jadi bingung karena tidak ada lagi uang untuk ongkos makanya
saya hanya berdiam di hate bis itu. Setelah saya bertemu dan melihat
bapak tadi malam, saya baru menyadari bahwa apa yang suami saya lakukan
adalah demi cinta dan masa depan isteri dan anaknya juga. Salam dari
suami saya untuk bapak. Salam juga dari kami sekeluarga untuk
anak-isteri bapak di rumah. Suami saya berharap, biarlah bapak tidak
mengetahui identitas kami dan biarlah menjadi pelajaran kami berdua . Oh
ya, maaf handphone bapak terbawa dan saya juga lupa mengembalikannya
tadi malam karena saya sedang larut dalam kesedihan. Terima kasih.
Suatu hari, seorang anak
lelaki miskin yang hidup dari menjual asongan dari pintu ke pintu,
menemukan bahwa dikantongnya hanya tersisa beberapa sen uangnya, dan dia
sangat lapar.
Anak lelaki tersebut memutuskan untuk meminta makanan dari rumah
berikutnya. Walaupun rumah yang dia kunjungi merupakan rumah sederhana
dan boleh dibilang miskin.
Akan tetapi anak itu kehilangan keberanian saat seorang wanita muda
membuka pintu rumah. Anak itu tidak jadi meminta makanan, ia hanya
berani meminta segelas air.
Wanita muda tersebut melihat, dan berpikir bahwa anak lelaki tersebut
pastilah lapar, oleh karena itu ia membawakan segelas besar susu.
Anak lelaki itu meminumnya dengan lambat, dan kemudian bertanya, "berapa saya harus membayar untuk segelas susu ini ?"
Wanita itu menjawab: "Kamu tidak perlu membayar apapun". "Ibu kami
mengajarkan untuk tidak menerima bayaran untuk kebaikan" kata wanita itu
menambahkan.
Anak lelaki itu kemudian menghabiskan susunya dan berkata :" Dari dalam hatiku aku berterima kasih pada anda."
Belasan tahun kemudian, wanita muda yang telah berusia lanjut tersebut
mengalami sakit yang sangat komplek dan kritis. Para dokter di kotanya
itu sudah tidak sanggup menanganinya.
Mereka akhirnya mengirimnya ke kota besar, dimana terdapat dokter spesialis yang mampu menangani penyakit langka tersebut.
Dr. Howard Kelly dipanggil untuk melakukan pemeriksaan. Pada saat ia
mendengar nama kota asal si wanita tersebut, terbersit seberkas pancaran
aneh pada mata dokter Kelly.
Segera ia bangkit dan bergegas turun melalui hall rumahsakit, menuju kamar si wanita tersebut.
Dengan berpakaian jubah kedokteran ia menemui si wanita itu. Ia langsung
mengenali wanita itu pada sekali pandang. Ia kemudian kembali ke ruang
konsultasi dan memutuskan untuk melakukan upaya terbaik untuk
menyelamatkan nyawa wanita itu. Mulai hari itu, Ia selalu memberikan
perhatian khusus pada kasus wanita itu.
Setelah melalui perjuangan yang panjang, akhirnya diperoleh kemenangan..
. Wanita itu sembuh !!. Dr. Kelly meminta bagian keuangan rumah sakit
untuk mengirimkan seluruh tagihan biaya pengobatan kepadanya untuk
persetujuan.
Dr. Kelly melihatnya, dan menuliskan sesuatu pada pojok atas lembar tagihan, dan kemudian mengirimkannya ke kamar pasien.
Wanita itu takut untuk membuka tagihan tersebut, ia sangat yakin bahwa
ia tak akan mampu membayar tagihan tersebut walaupun harus dicicil
seumur hidupnya.
Akhirnya Ia memberanikan diri untuk membaca tagihan tersebut, dan ada
sesuatu yang menarik perhatuannya pada pojok atas lembar tagihan
tersebut. Ia membaca tulisan yang berbunyi..
"Telah dibayar lunas dengan segelas susu.." tertanda, DR Howard Kelly.
Melangkah Yang Indah
Suatu
hari, seorang pendayung perahu mengayuh ke arah hulu. Tiba-tiba ia
terkejut melihat ada perahu meluncur deras sekali dari arah hulu persis
ke arah dirinya. Tentu saja ia berteriak: “Awas!”. Dan tabrakan pun
tidak bisa dihindarkan. Melihat dirinya nyaris mati, perahunya retak,
maka marahlah dia sekencang-kencangnya dengat kata-kata sekenanya.
Setelah lelah marah, ia mencoba melihat wajah manusia yang ceroboh tadi.
Ternyata, tidak ada manusia dalam perahu tadi.
Pelajarannya yang bisa ditarik dari sini, betapa cepatnya manusia
marah. Bahkan ketika informasi belum jelas, kemarahan sudah menghadang.
Ujungnya, kedamaian terbang entah ke mana. Oleh karena itulah, di setiap
pojokan pelayanan, banyak guru mengajarkan pentingnya melangkah
indah penuh kedamaian.
Kebanyakan orang mengira kedamaian baru diperoleh setelah keinginan
terpenuhi. Dan ternyata, sedikit yang menemukan kedamaian dengan
cara ini. Terutama karena keinginan bergerak naik sejalan dengan
tercapainya sejumlah keinginan. Tatkala keinginan memiliki motor
tercapai, muncul keinginan membeli mobil. Setelah menjadi manajer,
muncul keinginan menjadi direktur. Sehingga lelahlah kehidupan karena
terus berkejaran.
Terinspirasi dari sini, sebagian pencari kedamaian kemudian
menggunakan cara lain yakni belajar menemukan kedamaian dengan cara
“berhenti”. Pengertian berhenti di sini adalah menemukan wajah kedamaian
dari setiap pengalaman kekinian. Bangun tidur sebagai contoh, ia juga
membawa kedamaian. Terutama karena sebagian manusia ketika berusaha
bangun di pagi hari tidak bisa karena keburu mati. Disamping itu, bangun
pagi memberikan kesempatan untuk merenung, mau diisi dengan apa
kehidupan di hari ini. Bila diisi dengan pelayanan, kedamaian buahnya.
Jika diisi dengan kejahatan, penderitaan hukumannya.
Bagi kebanyakan orang, kerja itu membosankan. Ia lawannya rekreasi.
Lelah, capek, serba salah, kalau benar atasan diam bila salah atasan
mengomel. Tatkala pelayanan baik pelanggan melenggang saat pelayanan
salah sedikit saja maka makian menghadang. Itulah gambaran tentang kerja
yang dibikin banyak manusia.
Pencinta kedamaian lain lagi. Kerja bukan tong sampah yang berisi
keluhan, kerja menyembunyikan berlimpah peluang untuk menemukan
kedamaian. Perhatikan setiap tugas yang datang. Dengan sedikit cara
pandang positif terlihat, kerja adalah cermin kepercayaan atasan ke
kita. Tanpa rasa percaya atasan tidak mungkin ada kerja. Dengan demikian
ada kedamaian dalam setiap tugas yang datang.
Kemarahan atasan atau keluhan pelanggan sebagai contoh lain, ia
adalah terbukanya pintu perbaikan diri. Tanpa kemarahan atasan dan
keluhan pelanggan, kita semua seperti petinju tanpa lawan, bermain sepak
bola tanpa ada yang menghitung skor menang kalah. Datar dan bosan
sekali kerja jadinya. Untuk itulah, ada kedamaian di balik kemarahan
atasan dan keluhan pelanggan.
Gaji dan bonus yang tidak memuaskan kerap menjadi bom yang
menghancurkan kedamaian. Dari segi pekerja, judul yang diambil adalah
boss pelit, pengusaha yang mau untung sendiri. Dari segi atasan dan
pengusaha, judulnya adalah penghematan, investasi masa depan. Dan
lenyaplah kedamaian dari dunia kerja. Padahal, dengan sedikit rasa
syukur dan kerelaan untuk berhenti membandingkan kehidupan dengan mereka
yang lebih tinggi, gaji dan bonus sekecil apapun bisa menjadi sumber
kedamaian. Dalam bahasa seorang guru, we can be prosper at any level of income.
Makan, pakaian, penampilan, kendaraan semuanya bisa disesuaikan
dengan tingkat penghasilan. Memaksa agar selalu lebih baik dibandingkan
orang, itulah bom penghancur kedamaian yang sesungguhnya.
Apa yang mau diceritakan dengan seluruh ilustrasi ini sederhana, ada
peluang kedamaian di setiap langkah kehidupan. Dan kedamaian akan
mendekap, kesembuhan akan mendekat, bila kita rajin melatih diri untuk
memandang secara mendalam (tidak terlalu mudah dibawa lari kemarahan),
melihat terbukanya pintu kedamaian di setiap kejadian, serta rajin
berbagi senyuman. Terutama karena senyuman adalah tanda bahwa seseorang
sudah menjadi tuan bukan korban kehidupan.
Bahan renungan:
1. Kelangkaan kedamaian, itu keluhan banyak orang
2. Padahal, dengan belajar “berhenti” dikejar keinginan plus sejumlah rasa syukur, kehidupan sesungguhnya sebuah kedamaian
3. Ia yang memandang secara mendalam, bahwa semua mau
bahagia, semua tidak mau menderita, rajin berbagi senyuman dan
pelayanan, suatu hari mengerti bahwa setiap langkah adalah indah
sumber : http://gedeprama.blogdetik.com/2012/10/05/melangkah-yang-indah/
Indah Apa Adanya
Kekayaan
ekonomi mendikte pengetahuan dan kekuasaan, mungkin ini ciri utama
zaman ini. Beberapa puluh tahun lalu, ketika kedigdayaan ekonomi Amerika
Serikat lagi di puncak, ia memproduksi sekolah bisnis. Harvard ketika
itu menjadi semacam ikon yang ditiru dunia. Di akhir 1980an, keajaiban
ekonomi Jepang membuat dunia terkagum-kagum, kemudian diikuti oleh studi
yang membuahkan konsep budaya korporasi. Lagi-lagi dunia ikut nurut. Di
tahun 2010 ini, China menjadi kekuatan ekonomi yang tidak bisa
dibendung. Dan sudah mulai ada peneliti yang mengkait-kaitkan kemajuan
ekonomi China dengan budaya Konfusian.
Kekuasaan di negeri ini serupa. Jangankan posisi yang jauh dari
pantauan publik, bahkan menteri dengan integritas tinggi pun tumbang
digusur oleh kekuasaan beraroma uang.
Mungkin itu sebabnya John Law dkk (1991) memberi judul karyanya A Sociology of Monster.
Pengetahuan (apa lagi kekuasaan) mulai diragukan bisa menjadi
lahan-lahan subur pertumbuhan kebenaran, sebaliknya malah larut dibawa
arus uang, kemudian ikut-ikutan menjadi monster yang memangsa kebenaran.
Pertanyaannya kemudian, mungkinkah muncul manusia otentik di zaman ini?
Muncul Lenyap
Sebagai langkah awal membuka tirai kejernihan, sesungguhnya tidak
saja pengetahuan dan kekuasaan yang berputar perannya dari waktu ke
waktu, semuanya berputar. Ia sesederhana matahari, pagi muncul dengan
hawa hangat, siang panas menyakitkan, sore lenyap menyisakan kegelapan.
Itu sebabnya, dalam meditasi diajarkan untuk melihat ketidakkekalan
dengan jarak yang sama. Perhatikan manusia yang dijumpai dalam
keseharian. Di suatu waktu ia memuji, di lain waktu ia memaki, di
kesempatan lain ia lupa.
Mantan presiden Filipina Ferdinand Marcos adalah contoh indah.
Puluhan tahun dikagumi banyak orang lengkap dengan kekuasaannya, di lain
waktu ia ditumbangkan. Ujung kekuasaannya tidak menyisakan apa-apa,
bahkan mayatnya pun tidak diperbolehkan masuk Filipina. Sekian puluh
tahun berlalu, salah satu putera Marcos memutar balik sejarah dengan
memperoleh dukungan dalam pemilu. Bukan tidak mungkin keluarga itu akan
dihormati lagi.
Nelson Mandela di Afrika Selatan adalah contoh lain. Selama 27 tahun
merana di lembaga pemasyarakatan. Ketika rezim kulit putih jatuh, ia
muncul menjadi pahlawan. Tatkala cerai dengan istrinya, sebagian mata
memandang dengan pandangan miring. Inilah yang disebut ketidakkekalan.
Tidak saja manusia di luar sana tidak kekal, tubuh ini
hari ini menyenangkan karena makan enak, besok menyakitkan karena
terkena penyakit, hari lain terlupakan karena sibuk.
Memaksa bahwa hidup harus terus penuh kesenangan, itulah penderitaan.
Menjaga jarak yang sama pada setiap kejadian, itulah kedamaian dan
kebebasan. Dari sanalah kemudian mungkin muncul kualitas otentik yang
tidak bisa diperkosa monster uang dan kekuasaan.
Senyum Saja
Clouds in the sky of enlightenment, demikianlah pesan guru
tercerahkan (baca: otentik) pada muridnya dalam mengarungi kehidupan.
Semua pengalaman kehidupan serupa awan di langit pencerahan. Kesenangan
serupa awan putih, kesedihan mirip awan hitam. Awan hitam tidak membuat
langit jadi hitam, awan putih tidak membuat langit jadi putih. Apa pun
yang terjadi, langit tetap biru luas tidak terbatas.
Bagi batin tercerahkan, kebahagiaan yang diperebutkan tidak
menambahkan apa-apa, kesedihan yang dienyahkan tidak mengurangkan
apa-apa. Terutama karena terlihat terang benderang, semua berputar
indah apa adanya. Perhatikan ikan yang hidup di air, burung yang terbang
di udara. Ikan tidak menyebut burung bodoh karena tidak mengenal
kehidupan dalam air, burung tidak menyebut ikan kurang wawasan karena
tidak terbang ke mana-mana. Keduanya bahagia apa adanya. Mendengar
penjelasan seperti ini, ada yang mengungkapkan keraguan, kalau begitu
manusia tercerahkan pasif dan tidak melakukan apa-apa?
Kendati tidak tersentuh oleh kejadian, sifat alami mahluk tercerahkan
penuh kasih sayang. Seperti air yang tidak bisa dipisahkan dengan
basah, api yang tidak bisa dipisahkan dengan panas, pencerahan
tidak bisa dipisahkan dengan kasih sayang. Oleh karena itulah, mahluk
tercerahkan kesehariannya banyak senyuman. Tatkala gembira ia senyum,
saat berduka juga senyum. Mungkin kedengarannya aneh, namun demikianlah
keseharian mahluk tercerahkan, terutama karena yang mengagumkan muncul
lenyap, yang menjengkelkan muncul lenyap. Seperti matahari, apa pun
komentar orang, besok pagi ia tetap terbit kembali melayani kehidupan.
Seorang anak muda protes keras, kesannya cuek dan membosankan?
Keheningan yang tidak dipeluk kasih sayang tidak pernah diajarkan
sebagai jalan pencerahan. Setelah membadankan dalam-dalam hakekat semua
fenomena yang muncul lenyap, guru-guru tercerahkan kemudian mengisi
hidupnya dengan pelayanan. Bukan pelayanan yang memaksa harus masuk
surga, bukan juga pelayanan yang trauma akan neraka. Sebagaimana
samudera yang selalu membawa kegembiraan gelombang, pencerahan selalu
membawa kegembiraan kasih sayang bersamanya. Ada kebahagiaan menawan di
balik penerapan kasih sayang.
Seorang kakek ditanya cucunya, kenapa orang tercerahkan juga dimaki
dan disakiti?. Dengan lembut kakeknya bergumam, semua memiliki sifat
alami masing-masing. Seperti kambing, bila dikasi rumput dimakan, jika
dikasi daging akan menghindar, tanpa perlu mencaci bahwa pemakan daging
dosa dan masuk neraka. Serupa serigala, jika dikasi daging dimakan
diberi rumput menghindar, tanpa mencaci bahwa orang vegetarian bodoh dan
tolol. Sejalan dengan ini, sejumlah manusia memang panggilan alaminya
memaki dan menyakiti. Dan dalam pandangan guru tercerahkan, makian
adalah bel kesadaran untuk selalu peduli dan rendah hati. Ketika
disakiti, sesungguhnya manusia sedang mengalami pemurnian.
Bila begini cara mengalami kehidupan, maka uang dan kekuasaan
berhenti menjadi monster menakutkan. Sekaligus membukakan kemungkinan
bagi terlahirnya manusia otentik.
Bahan renungan:
1. Muncul lenyap, itulah sifat alami semua fenomena. Yang baik muncul-lenyap, yang busuk muncul-lenyap
2. Ciri manusia menderita sederhana, mencengkeram
berlebihan yang baik, sehingga menderita saat yang baik lepas. Menendang
berlebihan yang buruk, padahal putaran waktunya sudah tiba bagi yang
buruk untuk menjadi tamu kehidupan. Dan menderita juga
3. Mahluk tercerahkan berbeda, ia mendidik diri secara
keras untuk menjadi langit, kemudian melihat semua fenomena sesederhana
awan yang muncul lenyap. Inilah pintu kedamaian yang terbuka.
sumber : http://gedeprama.blogdetik.com/2012/09/21/indah-apa-adanya/
Menyatu Dalam Doa
Suatu
hari sepasang pemuda menemukan sepuluh berlian. Tentu saja keduanya
berebut ribut. Yang melihat pertama kali memaksa dapat lebih, yang
mengambil dari tanah juga sama. Akhirnya mereka sepakat menyerahkan
pembagiannya pada Nasrudin. Dengan lembut Nasrudin bertanya: “mau cara
Allah atau cara manusia?”. Pemuda yang berpeci langsung menjawab agar
dibagi dengan cara Allah. Akibatnya, Nasrudin memberikan pemakai peci
dua berlian, memberikan delapan berlian pada pemuda tanpa peci.
Tentu saja ini mengundang protes keras. Lagi-lagi Nasrudin bergumam
pelan: “ciri manusia yang dekat dengan Allah suka mengalah, menemukan
kebahagiaan melihat orang lain bahagia”. Bukan Nasrudin namanya kalau
tidak menyentak kesadaran. Sementara sebagian orang egonya membesar,
seiring dengan semakin dalamnya doa, Nasrudin menyentak sebaliknya.
Di mana ego dan keakuan itu mengecil, mengecil dan akhirnya
menghilang diganti kasih sayang, di sana buah spiritual bernama
pencerahan terbit seperti matahari pagi mengusir kegelapan. Ego dan
keakuan dengan berbagai bentuk dan akal bulusnya suka menipu manusia.
Bila ia tidak bisa menggoda dengan harta, tahta, wanita, ego bisa
mengenakan jubah Tuhan. Itu sebabnya mereka yang penggalian ke dalamnya
sudah demikian mengagumkan, sejak awal ego sudah diwaspadai. Mirip
dengan mewaspadai kegelapan yang membuat tali menjadi menakutkan karena
dikira ular. Dan begitu cahaya terang dihidupkan (baca: tercerahkan),
seluruh ketakutan termasuk ketakutan akan kematian lenyap. Disamping
itu, mentari pencerahan juga menghadirkan kerinduan akan pelayanan.
Seperti nasehat Nasrudin, indah tatkala mengalah dan berbahagia saat
melihat orang lain bahagia.
Di mata orang biasa, orang-orang seperti Nasrudin memang mudah dikira
bodoh, tolol dan menderita, tapi di mata mahluk tercerahkan ini
mengagumkan. Terutama karena di zaman yang hanya menghargai kemenangan,
kemenangan dan kemenangan, kalah seperti dihantam setan, serupa dikutuk
Tuhan secara menakutkan. Dan sedikit yang bisa menemukan sesungguhnya
ada yang indah ketika kalah. Serupa kayu yang sedang dihaluskan menjadi
patung, seperti bambu yang sedang dilobangi menjadi seruling, mirip
logam emas yang dibakar menjadi anting indah nan menawan, demikianlah
bentuk keindahan yang ada di balik kekalahan. Syarat untuk sampai di
sini sederhana, tidak melawan dan menendang, sebaliknya tersenyum
memeluk ketulusan dan keikhlasan.
Ini yang menerangkan kenapa ada yang berbeda tatkala melihat senyuman
Nelson Mandela, Bunda Teresa atau YM Dalai Lama. Kenapa kebajikan Haji
Bambang di Bali mengundang demikian banyak kekaguman orang. Bagi
hati yang bersih, lama terhubung dengan kesucian, menemukan kebahagiaan
dalam pelayanan, bisa menangis haru tatkala melihat senyuman orang-orang
ini. Kemudian memunculkan kerinduan untuk menyayangi dan menolong
orang lain. Karena itulah doa sesungguhnya.
Seorang remaja pernah meneteskan air mata tatkala mendengar tangisan
banyak babi disembelih di hari raya tertentu di Bali. Tatkala ditanya
kenapa, dengan sedih ia bergumam, ia merasakan rasa sakit babi yang
disembelih. Ini juga wajah lain manusia yang menyatu dalam doa, tidak
saja lapar menyayangi dan melayani, tetapi juga merasakan penderitaan
mahluk lain.
Terinspirasi dari kisah-kisah seperti ini, maka sebagian kecil
manusia yang sudah menyatu dalam doa kemudian mengurangi frekuensi
kunjungan ke tempat ibadah. Mereka berhenti berdoa dengan cara yang
dilakukan oleh kebanyakan orang. Namun pergi ke tengah keramaian,
menyediakan tangan untuk pelayanan. Itu sebabnya, tatkala seorang guru
zen tercerahkan mencari tempat mengajar meditasi di Amerika Serikat, ia
menolak tempat-tempat damai seperti di pinggir danau yang sejuk, pantai
yang sepi, di gunung yang hening. Tatkala muridnya menunjukkan tempat
di gang sebuah kawasan kumuh di New York yang berisi orang berkelahi,
manusia menyuntikkan narkoba, guru ini langsung berguman: “inilah tempat
di mana vibrasi kedamaian diperlukan”.
Bahan renungan:
1. Terlalu banyak manusia yang berdoa lengkap dengan segala variasinya
2. Cuman, tidak banyak yang tersambung ke alam doa.
Terutama karena kebanyakan manusia masih di angka 2 (baca: antara
penyembah dan yang disembah masih terpisah)
3. Menyatu dalam doa (baca: angka 1) terjadi tatkala ego
dan keakuan lenyap digantikan pelayanan dan kasih sayang. Yang sudah
lama tenggelam dalam pelayanan mengerti, ternyata yang melayani dan yang
dilayani tidak ada (baca: angka 0)
sumber : http://gedeprama.blogdetik.com/2012/10/19/menyatu-dalam-doa/